Episode 10



           Kedua kalinya Blog Anak Papua tayang di sabtu malam (saya tidak mengenal malam minggu). Ini juga Episode yang special karena Blog Anak Papua sudah mencapai episode 10 sejak 28 Maret 2015.
            Di episode 10 ini, saya tidak akan bercerita tentang pengalaman saya. Tapi, postingan kali ini masih tentang cerita. Cerita ini saya dapatkan dari sebuah buku pelajaran dan sangat menyentuh sekali.
            Langsung saja. Ini dia ceritanya yang sudah saya terjemahkan



Pertama dan Terakhir


            Saat itu, saya baru saja naik kelas. Saat masuk kelas, ada siswa baru. Siswa baru itu tubuhnya cacat. Tubuhnya kurus, rambutnya jarang, bahkan hamper gundul. Pokoknya kasihan sekali tubuhnya. Pertama kali masuk, Bu Guru menyuruh setiap siswa untuk berkenalan di depan kelas. Sekarang gilirannya siswa baru tersebut. Siswa baru itu ditertawai teman-teman lainnya, sehingga kelas menjadi ramai, siswa-siswa tertawa terbahak-bahak. Wali kelasku menyuruh siswa-siswa diam. Karena siswa-siswa tidak bisa diam, mereka semua menahan tawanya supaya tidak dimarahi. Saat siswa baru itu memperkenalkan di depan kelas, kakinya gemetar.
            “Na .. nama .. namaku .. Ad .. Adri” katanya, gagap. “Sa .. saya .. da .. dari .. ess .. SLB.”
            Ada rasa kasihan yang mengganjal di hati saya. Adri pasti berangkat paling pagi. Di sekolahan, Adri tidak punya teman. Teman-teman laki-lakinya malahan menghina dengan omongan dan ada yang menghina sambal meniru tingkah lakunya. Waktu Adri sedang jalan, kakinya tersandung dan jatuh. Bukunya berhamburan semua. Hatiku tergugah melihat keadaan itu. Tidak ana yang menolonginya, malahan pada mentertawainya. Saya langsung berdiri, membantu sambal memberesi buku-bukunya yang berhamburan tadi. Adri kemudian mengucapkan terima kasih, tangannya masih membersihkan bajunya yang kotor.
            Dari kejadian tersebut, Adri sekarang senang mendekati saya. Adri menganggap saya menjadi teman dekatnya. Saya ya menerima saja. Saya tidak membeda-bedakan. Tetapi saya tidak terlalu begitu dekat. Karena saya punya sahabat sendiri yang sudah lama. Saya tidak mengerti kenapa Adri menganggap saya bukan teman biasa.
            Di suatu hari, saat saya dan teman sahabat saya sedang kumpul Adri dating terus ikut ngumpul. Saat saya membeli jajan diikuti. Pokoknya kemanapun saya pergi, pasti dikuti. Karena saya merasa tidak enak, saya mengusir dengan cara halus. Adri malahan semakin mendekati saya, saya membentaknya. Dengan kaget, Adri berlari entah kemana.
            Adri sudah seminggu tidak masuk sekolah. Saya berpikir kenapa Adri tidak masuk sekolah sampai seminggu dan tidak ada kabarnya. Pulang sekolah, saya dan teman-teman satu kelas mencari alamat untuk memastikan kabarnya.
            Saya dan teman-teman keliling-keliling mencari alamat. Sampai di perumahan besar dan rumahnya megah. Saya mengetuk pintu rumah yang tinggi besar dan terbuat dari kayu jati. Tidak lama kemudian, dari dalam, ibunya Adri membuka pintu. Ibunya berparas cantic, tapi matanya terlihat bengkak seperti habis menangis. Ibunya Adri mempersilahkan masuk. Saya dan teman-teman masih bengong melihat rumah yang seperti istana.
            Ibunya sudah tahu kalua kedatangan ini untuk menanyakan Adri. Sambal menangis, ibunya cerita, sejak kecil Adri punya pernyakit yang serius. Sudah beberapa terapi dan minum obat-obatan dari dokter atau obat-obatan tradisional. Saat ibunya Adri cerita, ia berhenti sebentar sambal matanya melihat ke langit-langit rumah, sejak kecil, Adri tidak punya teman. Orang-orang tidak mau dekat karena tubuhnya yang cacat. Meskipun begitu, Adri tidak malu atau mengeluh dengan keadaannya. Adri ingin sekali masuk ke sekolah umum untuk mencari teman. Sebelumnya Adri bersekolah di SLB. Adri sudah ditinggal bapaknya sejak umur 6 tahun, gara-gara bapaknya punya penyakit yang sama seperti Adri.” Cerita ibunya, Bu Neli.
            “Lha Bu, sekarang Adri dimana ?” tanyaku sambil menyela ceritanya Bu Neli. Saya sudah tidak sabar, hatiku sudah tidak karuan. Pikiranku sudah ke mana-mana.
            Bu Neli malah menunduk, “Adri sudah menyusul bapaknya.” Jawab Bu Neli. Dengan rasa tidak percaya, saya dan teman-teman semuanya menangis. Saya sudah tidak bisa berbicara apa-apa. Jadi Adri sudah meniggal ? kenapa cepat sekali ? saya belum sempat meminta maaf.
            Tiba-tiba Bu Neli tanya, “Ini kan adik Olin?” Saya mengangguk pelan. Kemudian Bu Neli mengasih lipatan kertas.
            “Sebelum pergi, ada pesan surat ini untuk Olin. Adri ingin mengucapkan terima kasih karena Olin mau menjadi temannya Adri. Olin memang teman yang pertama dan terakhir.” Saya membuka lipatan kertas tadi. Hatiku tidak karuan, saya menangis lagi. Ternyata Adri masih menganggap saya temannya, bahkan sahabatnya.

            Itulah tadi ceritanya. Sangat menyentuh sekali di bagian akhir-akhirnya. Pertama kali saya membacanya juga kebawa emosi yang ada. Cerita di atas benar-benar cerita yang penuh dengan amanat dalam menjali hidup.

SEKIAN DARI SAYA
KEEP STAY ON Blog Anak Papua
#2WEEKS

Komentar